Minggu, 16 Agustus 2009

TBC penyakit Masyarakat yang masih memasyarakat

Muh.Fakhrurrozie, AMK,SKM

A. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis ( TBC ) paru merupakan penyakit menular langsung yang masih menjadi masalah utama kesehatan masyarakat Indonesia (1,2,3). Walaupun penanggulangan penyakit ini sudah menerapkan strategi Directly Observed Treatment Shortcource ( DOTS ) sejak tahun 1995 sampai sekarang hasilnya belum sesuai harapan (1,4,5). WHO mensinyalir negara - negara yang tinggi beban tuberkulosisnya termasuk Indonesia tidak sungguh-sungguh menjalankan pengendalian dengan strategi DOTS (6). WHO juga menyatakan Indonesia termasuk 22 negara yang bermasalah dalam penanggulangan TBC (7)

Di Indonesia, WHO memperkirakan terdapat 583.000 kasus baru dengan 140.000 kematian terjadi setiap tahun (1,5,8). Perkiraan jumlah penderita TBC paru dengan Bakteri Tahan Asam ( BTA ) positif adalah sebesar 1,3 per 1000 penduduk. Sekitar 75 % penderita adalah angkatan kerja yaitu golongan usia produktif (1,5). Dengan jumlah penduduk yang besar, Indonesia merupakan penyumbang terbesar ke-3 penyakit tuberkulosis di dunia (1,2,3). Menurut hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 TBC paru merupakan penyebab kematian ke 3 setelah penyakit jantung & pembuluh darah dan penyakit saluran pernafasan.

Secara epidemiologi penyakit TBC paru di Kalimantan Selatan tahun 2002 berada pada posisi ke 3 dari 10 penyakit terbanyak dengan angka kesakitan TBC BTA positif sebesar 113 per 100.000 penduduk. (9). Di Kabupaten Banjar tahun 2002 ditemukan sebanyak 250 orang penderita baru TBC Paru BTA positif (59,07 per1000 penduduk) dengan angka konversi 81,1 % dan angka kesembuhan 79,5 % (10)

B. TUBERKULOSIS PARU

1. Pengertian

Tuberkulosis paru adalah penyakit TBC yang menyerang paru yang disebabkan oleh kuman TBC (Mycobacterium Tuberculosis ) (1,2). Penderita TBC paru BTA positif adalah penderita TBC paru yang sputumnya mengandung kuman TBC (1) Penderita TBC paru BTA positif merupakan sumber penularan karena kemampuannya menularkan penyakit ini setiap saat kepada orang lain sehingga dianggap bermasalah secara epidemiologi (21).

2. Penularan

Penularan terjadi karena kuman dikeluarkan dengan cara batuk atau bersin oleh penderita menjadi droplet nuclei ( percikan dahak ) dan terhirup masuk saluran pernafasan. Daya penularan ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat positif ( gradasi BTA),makin menular penderita tersebut. Secara epidemiologis , seorang penderita TBC paru BTA positif dapat menularkan 10-15 orang setiap tahunnya (5).

Seseorang akan tertular kuman TBC disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya disebabkan oleh daya tahan tubuh yang rendah karena gizi yang buruk dan AIDS / HIV (1,3,20). Kuman TBC hanyalah necessary cause , yaitu bersama dengan faktor nutrisi yang buruk , keadaan lingkungan yang tidak sehat , umur dan faktor genetik untuk menyebabkan terjadinya TBC (11). Seseorang yang telah tertular tidak akan langsung menimbulkan gejala- gejala klinis yang khas. Gejala - gejala klinis baru timbul bila daya tahan tubuh penderita semakin melemah atau mengalami gangguan (3,18,22).

3. Gejala klinis

a. Gejala Utama

Batuk terus – menerus dan berdahak selama 3 ( tiga ) minggu atau lebih

b. Gejala Tambahan

Dahak bercampur darah, batuk darah, sesak napas dan rasa nyeri dada , badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan turun, kurang enak badan( malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan, demam meriang lebih dari sebulan .

Gejala- gejala tersebut diatas dijumpai pula pada penyakit paru lainnya sehingga orang dengan gejala-gejala tersebut harus dianggap sebagai seorang tersangka TBC (1,2,20).

4. Penentuan Diagnosa

Penentuan diagnosa TBC paru BTA positif didasarkan atas pemeriksaan mikroskopis sputum / dahak sewaktu , pagi, sewaktu .

C. PENGOBATAN

1. Tujuan Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah kekambuhan dan menurunkan tingkat penularan (1,2).

2. Jenis Pengobatan

Dalam program, penderita baru TBC paru BTA positif akan diberi paket OAT katagori 1 secara gratis dengan syarat harus ada seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Di Propinsi Kalimantan Selatan, paduan OAT disediakan dalam bentuk paket kombipak. Satu paket untuk satu penderita dalam satu masa pengobatan.

Paket OAT katagori 1 diberikan selama 6 bulan , terdiri atas fase intensif dan fase lanjutan. Fase intensif diberikan selama 2 bulan, frekwensi 1 kali sehari, jumlah 60 kali menelan obat. Terdiri atas 1 tablet Isoniasid 300 mg , 1 kaplet Rifampisin 450 mg , 3 tablet Pirazinamid 500 mg dan 3 tablet Etambutol 250 mg. Perlu pengawasan ketat karena sangat penting untuk mencegah terjadinya kekebalan obat. Bila pengobatan tahap ini diberikan secara tepat, biasanya penderita menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar penderita menjadi BTA negatif ( konversi ) pada akhir pengobatan intensif (1,20).

Fase lanjutan diberikan selama 4 bulan, frekwensi 3 kali seminggu, jumlah 54 kali menelan obat. Terdiri atas 2 tablet Isoniasid 300 mg dan 1 kaplet Rifampisin 450 mg (1,2) .

3. Pemantauan Kemajuan Pengobatan

Umumnya terjadi perbaikan keluhan penderita seperti batuk-batuk berkurang, batuk darah hilang, nafsu makan bertambah, berat badan meningkat yang secara tidak langsung berpengaruh pada perbaikan status gizi penderita (22).

D. STATUS GIZI DAN PENDERITA TBC PARU

Masalah kurang gizi pada penderita TBC merupakan masalah penting, karena selain mempunyai resiko terhadap penyakitnya , juga dapat mempengaruhi produktivitas kerjanya (14,16,17,18). Pentingya masalah gizi penderita TBC sudah lama menjadi perhatian dunia kedokteran. Semula pengobatan penderita dilakukan dengan perbaikan gizi dan tata cara kehidupan penderita (3). Tindakan ini terbukti efektif dengan hasil semakin berkurangnya angka kematian penderita (18,22). Tindakan ini akhirnya kurang mendapat perhatian serius sejak ditemukannya obat streptomisin (3,22). Padahal para ahli sependapat tidak ada satu regimenpun dari obat- obat anti tuberkulosis yang dapat membunuh kuman 100 % (18). Dalam strategi DOTS, masalah gizi penderita juga belum mendapat perhatian (1,20).

Penderita TBC yang kurang gizi akan mengakibatkan produksi antibodi dan limfosit terhambat sehingga proses penyembuhan akan terhambat pula (23). Sebaliknya sebagai penyakit infeksi, TBC bisa mempengaruhi status gizi penderita karena proses perjalanan penyakitnya yang mempengaruhi daya tahan tubuh (13,18,20). Menyadari hubungan antara perjalanan penyakit TBC dengan daya tahan tubuh dan bagaimana pengaruh gizi pada daya tahan tubuh sudah saatnya kita untuk tidak melihat seorang penderita hanya dengan pengobatan atau vaksinasi semata – mata (18)

Tujuh puluh lima persen penderita TBC paru berasal dari golongan tenaga kerja produktif ( umur 1 – 60 tahun ) dan golongan ekonomi lemah (1,3,4,5). Sebagai negara berkembang, Indonesia berisiko 20 – 50 kali lebih besar terhadap TBC dibandingkan negara maju (18). Masalah gizi menjadi penting karena perbaikan gizi merupakan salah satu upaya untuk memutus lingkaran setan penularan dan pemberantasan TBC di Indonesia ( 21)

DAFTAR PUSTAKA

1. DEPKES RI . Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, cetakan ke 8 , Jakarta : Depkes RI , 2002

2. DEPKES RI . Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis , cetakan ke 4, Jakarta : Dirjen PPM-PLP , 1999

3. Aditama,Tjandra Yoga,Tuberkulosis Paru Masalah dan Penang-gulanggannya “, Jakarta : UIP, 1994

4. Sandjaja, B . Pemberantasan Tuberkulosis di Irian Jaya , Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia , 1995 : XXIII ( .3 ) : hal 208- 215

5. Sri Prihatini, Tuberkulosis Kegawat Daruratan Global , diajukan pada Seminar TB Up Date 2003 Ke V ,Banjarmasin : Pusat Studi Tuberkulosis FK Unlam / RSUD Ulin

6. Priantini, Ni Nyoman . MDR-TB dan Penanggulangannya , Medicinal , 2003 ( 4 ) No.1. Mei 2003 , hal 33

7. Dwijani Embran. Seng pada TB paru , Medicinal , 2003 ( 4 ) , No.1.Mei 2003 hal

8. Depkes RI, Komunikasi Inter Personal antara Petugas Kesehatan dengan Penderita Tuberkulosis , Jakarta : Dirjen PPM & PL , 2001

9. Mohammad Rudianyah, Tuberkulosis tinjauan kesehatan masyarakat, dalam Rudianyah, M,dkk : editor , Tuberkulosis tinjauan multidisiflin ( 2 ), Banjarmasin.: Pusat Studi Tuberkulosis FK Unlam / RSUD Ulin, 2002

10. Dinkes Kab.Banjar . Profil Kesehatan Kabupaten Banjar tahun 2002 , Martapura : Dinkes Banjar , 2003

11. Bhisma Murti . Prinsif dan Metode Riset Epidemilogi “, Jogyakarta : Gajah Mada University Press , 1997

12. DEPKES R.I. Pedoman Praktis memantau Status Gizi Orang Dewasa Jakarta : Dirjen.Bina Gizi Masyarakat , 1994

13. Beisel , William R, Nutrisi dan Infeksi , dalam : Linder, Maria C, Editor , Biokimia Nutrisi dan Metabolisme , Jakarta : Penerbit UI , 1992

14. Supariasa, I Dewa Nyoman dan Ibnu Fajar . Penilaian Status Gizi , Jakarta : EGC, 2002

15. Misnadiarly, dkk , Penelitian Tuberkulosis suatu Tinjauan Beberapa Penelitian TBC di Indonesia , Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, 1994 : XXII ( 9 ) : 586 - 596

16. Misnadiarly, dkk . Berat Badan, Status penderita dan Penyakit Penyerta penderita TBC Paru,Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia,1996 XXIV ( 8 ) , 1996 : 550 - 558

17. Mohammad Isa , Anoreksia pada Tuberkulosis . diajukan pada seminar TB Up-date , 8 mei 2004 , Banjarmasin : Pusat Studi Tuberkulosis FK.Unlam / RSUD Ulin , 2004

18. Assagaf , Nutrisi pada Penderita Tuberkulosis , dalam : Rudiansyah ,M,:editor,Tuberkulosis tinjauan Multidisiplin

19. Prijono Tjiptoherijanto, Asfek Ekonomis Tuberkulosis , Medika , 1993 ( 10 ) TH.19 ,Oktober 1993 , Hal.7

20. Mohammad Isa ,Penatalaksanaan TB Masa Kini , diajukan pada Seminar TB Up-date ke – V, 23 April 2003 , Banjarmasin : Pusat Studi TB FK Unlam / RSUD Ulin , 2003

21. Sandjaja, B .dan Kruyt, E , Deteksi Dini Tuberkulosis , Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia , 1995 : XXIII (2 ) : 134 - 141

22. Bahar , A, Tuberkulosis Paru, dalam Ilmu Penyakit Dalam Jilid II, Soeparman : Editor, Jakarta : Balai Penerbit FKUI, 1990

23. Fahrudda, A, Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis , dalam Rudianyah, M,dkk : editor , Tuberkulosis tinjauan multidisiflin (2), Banjarmasin.: Pusat Studi Tuberkulosis FK Unlam / RSUD Ulin, 2002

Tidak ada komentar:

Posting Komentar